Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Space Iklan

Ushul Fiqih di Persimpangan (Telah Kritis Konsep Islam Transitif) Oleh: Nasrullah

Tulisan ini merupakan responsif kritis terhadap Ushul Fiqih Transitif, karya Prof. Dr. Ansari Yamamah, MA, Guru Besar Hukum Islam di UIN Sumut sekaligus pencetus gagasan Islam Transitif. Buku setebal 300 halaman ini menawarkan konstruksi logis dalam ranah pemikiran Islam, khususnya terkait metodologi ushul fiqih dalam menelaah hukum Islam dan hukum kontemporer. Dengan pendekatan yang menekankan transposisi konseptual, karya ini mencoba menghubungkan tradisi epistemologi Islam dengan tuntutan dinamika hukum modern. Namun, sejauh mana gagasan ini dapat mempertahankan integritas metodologis ushul fiqih tanpa terjebak dalam dekonstruksi yang problematis, menjadi pertanyaan mendasar yang perlu dikaji secara akademik dan kritis.

Ushul Fiqih Transitif
Ushul fiqih, sebagai disiplin epistemologis dalam Islam, sejak awal dirancang sebagai instrumen metodologis untuk merumuskan hukum syar'i berdasarkan sumber-sumber normatifnya. Keberadaannya tidak sekadar menjadi kerangka deduktif bagi para mujtahid, tetapi juga bertindak sebagai landasan rasional dalam menstrukturkan ijtihad yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Namun, dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang terus berkembang membawa disiplin ini ke dalam arus tarik-menarik antara dua kutub yaitu : Pertama, mempertahankan otoritas metodologisnya sebagai perangkat klasik yang rigid, atau Kedua, beradaptasi dengan dinamika hukum kontemporer yang menuntut fleksibilitas dan responsivitas terhadap realitas hukum modern.

Di satu sisi, ushul fiqih tetap memegang teguh prinsip-prinsip qath'i yang bersandar pada otoritas teks, logika deduktif, serta kaidah-kaidah yang diwariskan oleh para ulama klasik. Namun, di sisi lain, realitas hukum kontemporer menuntut pendekatan yang lebih transformatif, di mana interpretasi terhadap sumber-sumber hukum tidak lagi sekadar berangkat dari paradigma tekstualistik, tetapi juga harus mempertimbangkan epistemologi hukum modern yang berbasis pada keadilan substantif, hak asasi manusia, serta kompleksitas sistem hukum global.

Persimpangan ini menciptakan pertanyaan mendasar, sejauh mana ushul fiqih dapat berfungsi sebagai metodologi yang relevan dalam membaca dinamika hukum Islam di era kontemporer tanpa kehilangan otoritas epistemiknya? Apakah ushul fiqih cukup adaptif untuk menghadapi problematika hukum yang semakin kompleks, atau justru perlu dirumuskan ulang dalam kerangka pemikiran yang lebih kontekstual? Inilah problematika yang mengemuka dalam kajian Ushul Fiqih Transitif, sebuah konsep yang mencoba menjembatani antara tradisi dan inovasi dalam upaya menafsirkan hukum Islam di era modern. 

Namun, sejauh mana gagasan ini mampu menawarkan sintesis yang valid antara ortodoksi ushul fiqih dan tuntutan hukum kontemporer masih menjadi ruang perdebatan yang perlu ditelaah secara kritis dan akademik.

Ushul Fiqih Transitif yang digagas oleh Prof Ansari Yamamah, bukan sekadar rekonstruksi atas formulasi al-ahkam al-khamsah, melainkan suatu model ushul fiqih yang mengalami transitivitas metodologis. Konsep ini menggeser ushul fiqih dari sekadar instrumen istinbath normatif menjadi perangkat epistemik yang mampu melahirkan regulasi hukum (regeling and beschikking) berbasis realitas problematika hukum, dinamika sosio-kultural, konfigurasi politik, perkembangan ekonomi, serta kemajuan sains dan teknologi. 

Dengan pendekatan ini, ushul fiqih tidak lagi terbatas pada ruang ijtihad klasik, tetapi bertransformasi menjadi metode legislasi yang adaptif terhadap kompleksitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (dapat dilihat pada hlm. 174).
Menariknya, beliau mengutip Imran Ahsan Khan Nyazee menegaskan bahwa kedudukan ushul fiqih sebagai disiplin utama dalam hukum Islam The Queen of Islamic Sciences ‒ Ratunya Ilmu Islam. 

Pernyataan ini menegaskan bahwa ushul fiqih bukan sekadar instrumen normatif dalam perumusan hukum, tetapi juga fondasi epistemologis yang menopang struktur pemikiran hukum Islam secara keseluruhan. Dengan kedudukannya yang sentral, ushul fiqih tidak hanya berperan dalam formulasi hukum klasik, tetapi juga memiliki potensi untuk merespons dinamika hukum kontemporer dalam berbagai aspek kehidupan.

Persimpangan Buntu dan Kering

Kajian ushul fiqih selama ini cenderung kering dan monoton, terbatas pada formulasi hukum Islam secara normatif tanpa eksplorasi metodologis yang lebih dinamis. Para ulama membatasi penggunaannya dalam kerangka tekstual yang rigid, menjadikannya sekadar instrumen legalistik yang mengkategorikan individu dalam dua kutub yaitu mereka yang patuh dan mereka yang ingkar. Kedua kutub inilah yang menjadi persimpangan buntu dan kering yang akibatnya, ushul fiqih kehilangan daya kritisnya sebagai perangkat epistemik yang seharusnya mampu membaca kompleksitas realitas sosial, politik, dan hukum secara lebih komprehensif.

Menurut Prof Ansari Yamamah, selama ini ushul fiqih terkesan menjadi “mandul”, tidak berkembang dan bahkan mati suri ketika dihadapkan pada hukum realitas kontemporer. Untuk keluar dari persimpangan buntu dan kering ini, ushul fiqih harus menjadi salah satu pemain kunci untuk dapat digunakan metodologisnya melahirkan berbagai produk hukum, tidak saja dalam konteks keIslaman, tetapi juga keIndonesiaan (bisa dilihat di hlm 171). 

Bahkan menurut penulis buku ini, bahwa ushul fiqih bukanlah suatu ilmu pengetahuan biasa, tetapi suatu disiplin ilmu pengetahuan yang komprehensif (lihat hlm 181).
Penulis buku ini mengajak pembaca dan para praktisi hukum Islam untuk keluar dari belenggu pemikiran yang sempit dan menolak persimpangan yang berujung pada kebuntuan. Ia menuntut reposisi ushul fiqih sebagai disiplin yang anggun, sarat kekayaan intelektual, dan berdaya transformasi dalam memperindah khazanah hukum Islam. 

Sebagai The Queen of Islamic Sciences, ushul fiqih tidak seharusnya terjebak dalam rigiditas normatif, tetapi tampil sebagai ilmu yang dinamis, adaptif, dan relevan dalam menjawab tantangan zaman.

Pemutakhiran Dalam Ushul Fiqih Transitif
Prof. Ansari Yamamah mengkonstruksi pemikirannya dengan memutakhirkan konsep ad-daruriyyah al-khamsah dalam Ushul Fiqih Transitif. Konsep ini tidak lagi sekadar postulat normatif yang statis, tetapi mengalami rekonfigurasi metodologis agar mampu merespons realitas hukum kontemporer. 

Dengan pendekatan ini, ad-daruriyyah al-khamsah tidak hanya berfungsi sebagai prinsip protektif dalam hukum Islam, tetapi juga sebagai instrumen analitis dalam merumuskan kebijakan hukum yang lebih adaptif dan kontekstual.

Konsep ad-daruriyyah al-khamsah telah lama menjadi postulat baku dalam ushul fiqih, mencakup hifz ad-din (menjaga agama), hifz an-nafs (melindungi jiwa), hifz al-‘aql (menjaga akal), hifz an-nasl (menjaga keturunan), dan hifz al-mal (melindungi harta). Namun, Prof. Ansari Yamamah  melampaui formulasi klasik ini dengan mengonstruksi Ushul Fiqih Transitif menjadi 19 prinsip yang lebih luas dan kontekstual. 

Elaborasi konseptual ini disajikan secara komprehensif dalam bukunya, menawarkan perspektif baru atas relevansi ushul fiqih dalam menghadapi kompleksitas hukum kontemporer. Formulasi itu semua dapat digunakan dalam melahirkan hukum kontemporer termasuk mengatur berbangsa dan bernegara.

Penutup

Melalui Ushul Fiqih Transitif, Prof. Ansari Yamamah membuka batas-batas konvensional ushul fiqih dan cakrawala baru dalam kajian hukum Islam. Gagasannya menawarkan sintesis antara tradisi dan inovasi, menjadikan ushul fiqih bukan sekadar perangkat normatif, tetapi juga metodologi dinamis yang mampu merespons kompleksitas hukum kontemporer. 

Namun, sejauh mana konsep ini mampu mempertahankan integritas epistemiknya tanpa mengorbankan otoritas hukum Islam tetap menjadi ruang perdebatan yang menuntut kajian lebih mendalam.

*Pengamat dan Kolumnis Ilmu Hukum dan Sosial

Posting Komentar

0 Komentar