Petranews.com-Medan| Di tengah kesibukan lalu lintas yang menjadi tulang punggung perekonomian Sumatera Utara, ada kebijakan baru dari Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution, kini menarik perhatian nasional. Razia ketat terhadap truk dengan plat BL yang identik dengan kendaraan dari Aceh telah memicu gelombang protes dan kekhawatiran akan merusak hubungan sosial-ekonomi antarprovinsi.
Kebijakan ini, yang bertujuan untuk mengatur lalu lintas dan keamanan jalan raya, justru menjadi kesalahan politik yang tidak hanya menimbulkan masalah, tetapi juga menyebarkan konflik baru di tanah yang sudah lelah dengan sejarah perpecahan.
Hal ini disampaikan pengamat sosial politik Bustami kepada media, terkait adanya kebijakan Gubernur Sumatera Utara yang meminta agar nomor kendaraan (plat) Aceh (BL) harus di ubah ke BK dengan alasan agar retribusi pajak kendaraan masuk ke kas Pemprovsu.
"Menurut saya bahwa kebijakan ini tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, tetapi juga menyentuh ranah sosial yang rentan. Sudah cukup konflik empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara lalu, jangan ditambah lagi dengan masalah seperti ini, justru ini menambah luka baru,"tegas Bustami kepada media, Senin (20/9).
Lebih jauh kandidat Doktor ini menjelaskan, sekaligus membandingkan situasi ini dengan gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat pada era 1960-an, di mana identitas kelompok menjadi pusat kejadian.
"Di sini, plat BL menjadi simbol identitas Aceh, dan razia seolah-olah menyatakan, 'Kalian bukan bagian dari kami'. Hal ini berpotensi memicu sentimen kedaerahan, rasa ketidakadilan, dan bahkan nasionalisme sempit yang dapat menimbulkan kejahatan sosial seperti vandalisme atau bentrokan antar warga,"ujar Intelektual muda Aceh ini.
Lebih mendalam, lanjut Bustami memandang kebijakan ini sebagai persaingan kekuasaan dan otoritas antara pemerintah daerah. Jalan nasional, yang seharusnya berada di bawah kendali pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan, kini seolah-olah 'dikuasai' sang Gubernur Sumut untuk mengatur ekonomi wilayahnya.
“Ini bukanlah konflik antara buruh dan borjuis seperti yang dijelaskan dalam teori Marxisme klasik, melainkan pertarungan antara aktor-aktor kekuasaan pemerintah provinsi yang saling berhadapan,”ungkap Bustami.
Pemerintahan Sumut memanfaatkan kekuasaannya untuk mengatur lalu lintas, namun tindakan tersebut dianggap merugikan Aceh dan mengabaikan koordinasi nasional.
"Akibat adanya kebijakan yang tidak populis ini, berpotensi menganggu hubungan harmonis antar Provinsi yang selama ini terjalin melalui perdagangan lintas batas kini mengalami keretakan, menciptakan suasana ketidakharmonisan yang berpotensi meluas ke isu-isu lain seperti pembagian sumber daya alam,"urainya.
Berdasarkan Teori yang dipopulerkan oleh sosiolog seperti Ralf Dahrendorf, menurut Tami (sapaan akrabnya) memandang konflik tidak hanya sebagai persaingan sumber daya, tetapi juga sebagai ketidakpuasan terhadap sistem yang dianggap tidak adil.
"Seperti dalam aktivisme lingkungan yang menentang kebijakan polusi industri, razia truk ini memicu perlawanan karena dianggap sebagai bentuk regional. Secara ringkas, meskipun terdapat aspek ekonomi, konflik ini lebih mendalam didasari pada perebutan kekuasaan, perlawanan terhadap diskriminasi, dan pertarungan identitas daerah,"lanjutnya.
Di bagian akhir narasi ini, Bustami mengingatkan akan kerapuhan persatuan bangsa. Dengan sejarah panjang konflik di Aceh dan Sumut, mulai dari gerakan separatis hingga bencana alam yang memerlukan solidaritas, kebijakan razia truk plat BL tampak sebagai langkah mundur.
"Alih-alih membangun, kebijakan ini berpotensi merusak jembatan ekonomi dan sosial yang telah dibangun selama bertahun-tahun,"imbaunya.
Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor yang mendalami komunikasi, Bustami berharap analisis ini menjadi panggilan untuk berdialog, bukan konfrontasi.
"Mari kita hindari kesalahan ini sebelum terlambat, Indonesia memerlukan harmoni, bukan kegaduhan baru,"ujar Bustami (AS)
0 Komentar