Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kompetisi Media Online - Minta Formulir

FORMASSU: RAKYAT BUKAN MUSUH, JANGAN DIBENTURKAN DENGAN APARAT

"FORMASSU menyoroti gelombang keresahan masyarakat yang disebut mirip dengan situasi menjelang reformasi 1998. Mereka menuntut DPR melakukan introspeksi dan mendesak Presiden untuk mengganti Kapolri yang dinilai gagal melindungi rakyat."

Medan [PetraNews] —  Gelombang keresahan publik atas sejumlah kebijakan pemerintah kembali mengemuka. Di Medan, Forum Masyarakat Sipil Sumatera Utara (FORMASSU) angkat bicara dengan menyerukan pernyataan sikap yang menohok. Bagi FORMASSU, situasi yang terjadi saat ini seakan mengingatkan pada masa-masa genting menjelang reformasi 1998.

“Cara, modus, dan pola yang muncul sekarang hampir serupa dengan apa yang kita alami pada 1998. Bedanya, kali ini dibumbui oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial dan tidak berpihak pada rakyat,” demikian salah satu kutipan dari pernyataan resmi FORMASSU yang diterima PetraNews.

Cerminan 1998 yang Berulang

Menurut FORMASSU, keresahan rakyat bermula dari sederet kebijakan yang dianggap memberatkan. Mulai dari kenaikan pajak yang dinilai “gila-gilaan” di berbagai daerah, harga sembako yang mahal, persoalan BBM, hingga praktik korupsi yang masih marak. Belum lagi, DPR RI disebut memperburuk keadaan dengan menaikkan tunjangan perumahan anggota Dewan hingga Rp50 juta per bulan—sesuatu yang dianggap jauh dari rasa keadilan.

Sayangnya, aspirasi masyarakat yang disampaikan lewat unjuk rasa tidak direspons dengan terbuka. Sebaliknya, menurut FORMASSU, suara rakyat justru dibenturkan dengan aparat kepolisian. Insiden demi insiden pun terjadi, salah satunya tragedi yang menimpa seorang driver ojek online yang meninggal dunia akibat insiden dengan aparat Brimob.

“Padahal rakyat datang bukan untuk menjadi musuh, melainkan sebagai pengingat dan bagian dari kontrol sosial pemerintah. Jika bukan kepada DPR dan pemerintah, ke mana lagi aspirasi harus disampaikan secara konstitusional?” tegas Presidium FORMASSU.

Lima Sikap Tegas

Dalam pernyataannya, FORMASSU kemudian merumuskan lima sikap penting. Pertama, Presiden Prabowo diminta segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan yang dinilai mencederai hati rakyat. Tak hanya soal pajak dan sembako, tetapi juga kebijakan di sektor pertambangan, hukum, dan proyek strategis nasional seperti pembangunan IKN.

Kedua, DPR RI didesak untuk melakukan introspeksi diri. FORMASSU menilai, terlalu banyak undang-undang dan kebijakan yang tidak menyahuti aspirasi rakyat. Bahkan, mereka meminta anggota DPR yang gagal menjalankan amanah untuk mengundurkan diri.

Ketiga, FORMASSU mengimbau masyarakat agar tidak terjebak dalam tindakan anarkis yang bisa merugikan perjuangan sendiri. Aksi unjuk rasa, menurut mereka, bisa dihentikan sementara, sembari memberi peringatan kepada pemerintah dan DPR agar mencabut kebijakan yang tidak berkeadilan sosial.

Keempat, Presiden diminta tegas mencopot para menteri dan Kapolri yang dinilai tidak peka terhadap suara rakyat. Langkah ini dianggap penting untuk memulihkan kembali kepercayaan publik.

Kelima, FORMASSU menuntut pergantian Kapolri. Mereka menilai, peristiwa meninggalnya driver ojek online menjadi bukti kegagalan institusi kepolisian dalam melindungi masyarakat.

Suara Moral di Tengah Gejolak

Pernyataan FORMASSU ini ditandatangani oleh presidium yang terdiri dari Ariffani, Rafdinal, Lisa Afrianti, Siti Khadijah Pulungan, Marjoko, Maman Nata Wijaya, Dedy Sofyan, Lukman Hakim, Surya Ardiansyah, dan Chairul.

Dalam penutupnya, FORMASSU mengingatkan agar bangsa ini tidak kehilangan jati diri di tengah perayaan Hari Kemerdekaan ke-80. “Integritas sesama anak bangsa jangan hanya sebatas retorika. Jiwa kesatria dan cinta tanah air harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar seremoni. Bendera Merah Putih seharusnya berkibar gagah di tengah angin kencang, bukan lesu tanpa makna,” ujar mereka.

FORMASSU juga menekankan pentingnya menghidupkan kembali semangat Pancasila di era digital. Menurut mereka, Pancasila tidak boleh berhenti sebagai slogan, melainkan harus menjadi panduan nyata dalam pengambilan kebijakan. [af]




Posting Komentar

0 Komentar