Gelondongan Kayu hingga Sampah Menumpuk: Relawan Pejuang Iklim Ungkap Salah Satu Akar Banjir Sumatera
Petra News – Banjir yang kembali melanda sejumlah wilayah di Sumatera bukan hanya fenomena cuaca ekstrem, tetapi merupakan akumulasi masalah struktural yang telah berlangsung lama: kerusakan hutan, tata ruang yang buruk, hingga perilaku masyarakat terhadap lingkungan. Hal itu disampaikan Ketua Pengawas Lembaga Lingkungan Hidup dan Pejuang Iklim Indonesia (L2HPI Indonesia), Nirwan Junaidi Rokan, dalam diskusi relawan pejuang iklim disaat kegiatan dilapangan pekan ini.
Menurutnya, bencana yang terjadi berulang bukan sekadar “musibah alam”, melainkan cerminan kegagalan manusia menjaga ekosistem yang menjadi penopang kehidupan.
Gelondongan Kayu di Tengah Banjir: “Ada Kebijakan yang Gagal Diawasi” Nirwan mengungkapkan bahwa temuan gelondongan kayu yang terseret arus banjir bukan hal baru. Ia menyebut keberadaan kayu-kayu besar tersebut sebagai indikator kuat adanya kerusakan hutan di hulu.
“Ketika gelondongan kayu keluar dari tengah hutan, itu bukan sekadar bukti kerusakan alam, tetapi juga tanda bahwa pengawasan pejabat politik terhadap kebijakan kehutanan masih lemah. Ada kedekatan dengan kepentingan uang pengusaha yang tidak bisa kita tutupi lagi,” ujar Nirwan kepada Petra News.
Ia menegaskan bahwa hilangnya kawasan ekosistem hijau di banyak titik di Sumatera telah mengurangi kemampuan alam menahan dan mengatur air hujan, sehingga banjir menjadi semakin sering dan semakin besar.
Perubahan Iklim Global Memperparah Segala Kerusakan. Selain faktor tata kelola hutan, Nirwan menjelaskan bahwa perubahan iklim global membuat curah hujan semakin tidak terprediksi. Atmosfer yang lebih hangat menyimpan lebih banyak uap air, yang dilepaskan sebagai hujan ekstrem dalam durasi singkat.
“Ketika hutan rusak dan iklim berubah, kapasitas ekosistem Indonesia tidak lagi mampu memikul tekanan bencana,” ujarnya.
Fenomena ini sesuai dengan laporan berbagai lembaga internasional yang menyebut Asia Tenggara sebagai kawasan paling rentan terhadap peningkatan intensitas curah hujan ekstrem.
Sampah dan Drainase Buruk: Masalah yang Dibuat Manusia Sendiri Relawan pejuang iklim juga menyoroti persoalan perilaku masyarakat dalam membuang sampah sembarangan. Sampah plastik yang menumpuk di selokan dan sungai memperparah luapan air saat hujan deras.
“Kita kehilangan nilai keterhubungan dengan alam. Ekosistem itu simbiosis—kalau kita merusaknya, bencana kembali kepada kita,” kata Nirwan.
Ia menilai masalah drainase, saluran air yang tersumbat, serta tata ruang yang tidak mempertimbangkan kawasan resapan turut memperbesar efek banjir lokal.
Banjir Sumatera: Akibat Rantai Masalah yang Saling Menguatkan. Dalam analisis L2HPI Indonesia, banjir di Sumatera berasal dari tiga faktor utama yang saling memperkuat:
-
Kerusakan hutan di hulu DAS menghilangkan kemampuan tanah menyerap air.
-
Perubahan iklim meningkatkan intensitas hujan ekstrem dalam waktu singkat.
-
Perilaku membuang sampah sembarangan menghambat aliran air dan mempercepat meluapnya banjir.
Ketiga faktor tersebut menciptakan situasi ideal bagi terjadinya banjir bandang dan longsor—bencana yang kini makin sering menyerang wilayah permukiman, pertanian, dan infrastruktur.
Tanggung Jawab Generasi Sekarang untuk Generasi Mendatang. Dalam diskusi didalam perjalanan relawan pejuang iklim menuju ke lapangan juga menyinggung soal nilai moral dan tanggung jawab antar generasi.
Menurut Nirwan, jika pola perusakan terus berlangsung, generasi yang akan datang hanya akan mewarisi krisis iklim yang semakin parah, ekosistem yang melemah, dan bencana yang tidak lagi bisa ditangani dengan cara konvensional.
“Kita tidak sedang menyelamatkan lingkungan, kita sedang menyelamatkan masa depan anak-anak kita. Alam bisa pulih, tapi manusia bisa tidak bertahan,” tegasnya.
Menutup Pembicaraan Diskusi Didalam Perjalanan Menuju Lapangan Lokasi Titik-Titik Bencana Sumatera, Sebuah Lagu Menjadi Seruan Kesadaran. Diskusi relawan-relawan tersebut terinspirasi dari sebuah lagu bertema lingkungan yang kini digunakan sebagai medium kampanye kesadaran ekologis. Pesannya sederhana: bumi adalah tempat tinggal bersama, dan kerusakannya bukan hanya ditanggung manusia saat ini, tetapi juga generasi yang belum lahir.
Bahtiar, salah satu relawan pejuang iklim yang juga hadir dilapangan ikut dalam diskusi tersebut, menegaskan bahwa persoalan sampah tidak bisa lagi dianggap masalah kecil. Menurutnya, pengelolaan sampah yang buruk adalah salah satu mata rantai penting yang memperburuk bencana ekologis di berbagai daerah, termasuk Sumatera.
“Kalau sampah tidak dikelola dari hulunya—dari rumah tangga, pasar, kawasan wisata, hingga industri—maka kita hanya memindahkan masalah dari satu titik ke titik lain. Sampah yang menumpuk di sungai itu bukan datang sendiri, itu cermin perilaku kita dan lemahnya sistem yang seharusnya mengatur,” ujar Bahtiar.
Ia menambahkan bahwa perubahan iklim memperbesar dampak dari kesalahan manusia tersebut. Ketika hujan ekstrem turun, saluran air yang tersumbat sampah akan langsung meluap, sehingga mempercepat terbentuknya banjir lokal.
Bahtiar menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah daerah, komunitas lingkungan, dan masyarakat luas agar edukasi pengurangan sampah, pemilahan, serta manajemen TPA berjalan dengan benar. “Kalau lingkungan rusak, kita semua yang rugi. Ini bukan hanya pekerjaan pemerintah, tetapi pekerjaan bersama,” ujarnya.
Bagi L2HPI Indonesia, relawan berhimpun didalam donasi dan aksi lapangan harus bersatu dalam memperjuangkan keadilan iklim. [red]



0 Komentar